Powered By Blogger

Rabu, 16 Juli 2014

Cause You're The One For Me



‪#‎The‬ ONE, 'satu-satunya'?
Oleh: Adista Nur Primantari*

Kadang aku bahagia sekali melihat di banyak tempat: pasangan yang menua bersama. Selalu kulabeli mereka cinta sejati. Bukankah cinta sejati itu the one, ‘satu-satunya’? Keduanya tidak bisa menemukan sosok pasangannya pada orang lain hingga hampir habis usia. Betapa sebuah anugerah saat kita dapat saling menemukan konsep the one dalam hati setiap pasangan, ya? (^_^)

Menuliskan tentang konsep the one, membuatku selalu mengingat Mbah Kakung dan Mbah Putriku. Pagi ini kutuliskan sedikit yang kukenang tentang mereka. Aku tidak tahu kapan mereka bertemu, apakah mereka cinta pertama satu sama lain, bagaimana Mbah Kakung nembak Mbah Putriku, kapan mereka menikah, berapa lama mereka bersama hingga Mbah Putri pergi menghadap Allah SWT mendahului Mbah Kakung. Dua-duanya guru Bahasa Indonesia. Mbah Kakung guru SMA dan Mbah Putri guru SD. Kompak romantisnya dalam urusan pekerjaan. Dulu selalu berboncengan sepeda onthel setiap berangkat mengajar.

Sejak usia muda, mereka berjuang membesarkan lima orang anak hingga menjadi sarjana semua. Bukan perjuangan yang mudah bagi mereka yang hanya berprofesi sebagai seorang guru. Bulikku terkenang bagaimana dia dan saudara-saudaranya harus memakan sebutir telur yang didadar oleh Mbah Putri dan dicampur dengan banyak daun so supaya kelihatan besar dan dapat dibagi lima.

Dari pengamatan seorang cucu yang mungkin juga tidak banyak mengenal mbahnya, aku menemukan konsep the one pada diri mereka. Menurut Bapak, Ibuk, dan Bulik-Bulikku, karakter Mbah Kakung dan Mbah Putri sungguh jauh berbeda, tapi aku juga tak tahu apa yang membuat mereka bertahan begitu lama. Menurut mereka, Mbah Kakung adalah laki-laki yang pendiam, murah senyum, dan sabarnya sedunia. Mbah Putriku, duh, jangan ditanya, cerewetnya luar biasa, ngeyel kalau dibilangin, dan suka ngomel sama anak-anaknya. Hehe. Menurut pembelaan Mbah Kakungku dulu, justru dengan karakter Mbah Putri itulah anak-anaknya dapat menghormatinya. Kasihan Bapak, Bulik, dan Omku.

Aku tidak pernah tahu apa yang dirasakan Mbah Kakung sendiri terhadap karakter Mbah Putri. Yang aku tahu, Mbah Kakung hanya akan senyam-senyum kalau Mbah Putri ngambek. Duuh, sabarnya memang sedunia. Jangan tanya berapa banyak kebosanan dan pertengkaran mewarnai hari-hari mereka. Tapi dari situlah barangkali kehidupan jadi memiliki warna, justru tidak membosankan. Pertengkaran hanyalah sebuah proses untuk saling memahami. Aku tidak terlalu tahu mengenai karakter detil mereka. Hanya saja aku ingat bagaimana terpuruk dan hampanya Mbah Kakung sepeninggal Mbah Putri, perempuan yang selama berpuluh-puluh tahun telah menghidupkan rumahnya.

Sepeninggal Mbah Putri, Mbah Kakung susah makan, susah tidur, lebih pendiam dari sifat dasarnya yang memang pendiam. Beliau lebih suka tidak tidur hingga larut sekali dan sholat saja sendiri dalam sepi. Kalau sudah berlama-lama di atas sajadah, pasti Mbah Kakung sedang kangen Mbah Putri. Berkali-kali anak-anaknya menghibur dan berusaha menyenangkan hatinya, tapi tak bisa. Tak ada yang bisa menggantikan sosok Mbah Putri bagaimanapun cerewetnya dia. Kepada Bulikku, Mbah Kakung curhat bagaimana dia tak dapat menemukan teman bicara seperti Mbah Putri dan teman eyel-eyelan waktu nonton televisi. Dulu, saat sore tiba, mereka selalu minum teh berdua di teras menunggu azan Maghrib, membicarakan apa saja.

Sangat sulit memang menghilangkan sosok Mbah Putri dari dalam rumah karena bukan hanya setahun dua tahun mereka tinggal bersama. Bapak pernah menawari Mbah Kakung untuk tinggal bersama kami, barangkali cucu-cucunya dapat mengobati kesepiannya. Tapi Mbah Kakung menolak, dia lebih suka tinggal di rumah yang dulu ditinggalinya bersama Mbah Putri walaupun sendiri. Akhirnya, bulikku yang tinggal bersamanya.

Waktu kami sekeluarga datang siang itu, Mbah Kakung sedang duduk menekuri semangkuk soto di hadapannya. Beliau makan sambil terisak-isak, mbrebes mili. Kami akhirnya tahu Mbah Kakung selalu seperti itu setiap makan soto. Soto adalah masakan Mbah Putri yang sering sekali mampir di meja makannya dan dimakan bersama. Kehilangan teman makan juga. Betapa Mbah Putri adalah teman Mbah Kakung. Teman menghabiskan usia.
Dulu sewaktu belum berkursi roda, Mbah Kakung selalu sholat lima waktu di mushola kecil yang dibangun untuk Mbah Putri. Letaknya di samping pemakaman desa dan setelah sholat, Mbah Kakung sering menyempatkan diri mengunjungi makam Mbah Putri. Setelah dua tahun kepergian Mbah Putri, Mbah Kakung akhirnya menyusul Mbah Putri karena sakit jantung dan stroke. Beliau meninggalkan banyak hal, bukan hanya buku-buku sastra untukku, tetapi juga kenangan indah, teladan yang baik, dan nasihat-nasihat tentang agama buatku.

Mungkin mereka telah memperoleh kebijaksanaan paling tinggi dalam cinta: tak masalah apa yang kau berikan padaku, aku hanya ingin memberi yang terbaik untukmu (Ih, terlalu so sweet :)). Semoga sikap itu tidak menyaingi kasih sayang kita sebagai manusia kepada Allah SWT, semoga itu adalah refleksi kasih sayang kepada Allah SWT melalui makhluk-Nya. Betapa sulitnya, ya, mengamalkan sikap yang merupakan refleksi dari keikhlasan dan kesabaran dari seorang makhluk kepada sesama makhluknya.

Eits... Tapi konsep the one itu baru bisa kuat diterapkan saat predikat halal sudah disandang, ya! (Katakan tidak pada pacaran :P) Hal yang baik pasti didapatkan di tempat dan proses yang baik. Supaya tidak menyesal, memang pada awalnya setiap orang berhak memilih pasangannya, mencari-cari cikal bakal konsep the one dalam diri lawan jenis, mencari-cari kenyamanan, mencari-cari manusia yang mau diajak bekerja sama, manusia yang mau diajak berteman hingga tua, manusia baik yang menjadi sarana ibadah dan ladang pahala satu sama lainnya. Tapi, jika sebelum menikah kita sudah merasa menemukan orang yang kita anggap satu-satunya, jangan bergembira dulu bahwa itu adalah hasil akhirnya, karena konsep the one didapatkan selain dari pertemuan, juga perjuangan untuk saling memahami dan mempertahankan.

Menemukan the one memerlukan proses yang panjang. Tak ada hal yang mudah untuk mendapatkan sesuatu yang berharga. Pasangan yang setia hingga menutup mata, kata Ibuku, perlu memiliki jiwa-jiwa yang kuat untuk bertahan dan percaya. Memang manusia memiliki pilihan, tapi bukan membanding-bandingkan. Kalau masih membanding-bandingkan, mungkin benar, belumlah kita temukan cinta sejati kita, belum ada konsep the one pada satu sama lain. Karena kalau memang itu benar-benar cinta, pasti tak bisa dibandingkan, pasti Takkan Terganti, seperti judul lagunya Marcell. Mwihihi

Aduh, maaf seperti biasanya aku lupa jika tadi aku berjanji ingin bercerita sedikit saja. Mungkin aku mewarisi sifat Mbah Putriku yang banyak bicara dan cerewet luar biasa. Hehehe.

*Penulis adalah kakak, mbak tsantik segaligus sahabat ngobrol banyak saat kuliah dulu di Sastra Indonesia UGM :)

Ps: Tambahan dari tulisan ini, sepertinya kurang lengkap kalau tidak menyertakan lagu Raef yang syahdu. You Are The One :)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar