Powered By Blogger

Minggu, 02 September 2012

Purnama Biru & Wajah Dellila yang Tertekuk


Bhumi, maafkan aku, kali ini aku kesal sekali padamu. Malam ini bulan purnama teramat indah, namun sebuah kalimat yang terbaca dalam padangku di sebuah pesanmu senja tadi membuat malam ini menjadi kelabu. Aku merasa lemas Bhumi, sudahlah jika kau memang tak mengerti akan apa yang telah ku isyaratkan beberapa minggu ini, sebaiknya tak usah kau jadikan candaan yang tak lucu kepadaku. Kau mengerti tapi berlagak tak mengerti, kau berlagak tak mengerti namun kau menuliskan pesan yang kau harap menjadi lelucon sore, yang membuat lengkung senyum tawaku tergelagak. Hemh, kau gagal Bhumi. Gagal, aku kesal.

Sayang, aku menunggumu benar-benar di beranda rumah, hingga aku tak ingat berapa kali aku mencari daun kering di pot-pot bunga kesayanganku, kesana-kemari, ke satu bunga dan ke bunga yang lain, menyirami mereka sore-sore, memindahkan tanaman hijauku yang di ruang tamu ke luar agar terkena sinar matahari, memindahkan bunga cantik berdaun hijau nan segar ke dalam rumah, membaca buku di kursi beranda, mengulangi hafalanku bersama mushaf kecilku, dan semua itu selalu kulakukan sembari melihat jalan arah kau pulang. Tapi kau tak tampak-tampak dalam pandangku.  Hingga, aku membaca pesan, yang kau tulis sore itu.

Tiba-tiba aku terduduk lunglai, pandanganku kosong. Aku muram. Sebal membaca pesanmu.

"Klik" HP ku nonaktifkan.

***

Setelah ba'da Isya, aku duduk di kursi meja makan. Ya, baiklah, biarkan saja masakanku ini dingin begitu saja, aku akan makan sendirian malam ini, malam yang seharusnya menjadi indah dengan purnama yang tampak  benderang biru. Biarkan saja kau tak merasakan Panecake buatanku yang paling enak ini huh, aku akan makan semuanya. Biarkan gendut, biar kamu tau rasa punya istri gendut gara-gara sering ditinggal kerja hingga larut malam. Dan seenaknya saja melanggar janji akan pulang lekas. Kalau tidak bisa menepati, tak usah janji Bhumi sayang! 

Ku kira kau tau aku memberikan isyarat beberapa minggu ini kalau akhir bulan ini adalah ulang tahun pernikahan kita. Padahal jelas-jelas aku ingin sekali memasakkan sesuatu yang manis, menata meja makan dengan cantik dengan bunga mawar merah penuh tertata menawan di sebuah pot kaca, dan menyalakan sebuah lilin yang syahdu di malam ulang tahun pernikahan kita, seharusnya kau tau jugakan kalau aku akan membuat semua ini? Nyatanya kau yang berlagak tak tau itu mengetahui dengan jelas, namun berpura-pura tak tau. Sampai kau memberikan pesan itu kepadaku sore ini. Akhir pesaanmu itu menyebalkan Bhumi.
"Ps: Delilla sayang, gayamu memberitahu kepadaku kalau akhir bulan ini ulang tahun pernikahan kita sangat lucu, hingga rasanya aku ingin berpura-pura tak tau sampai hari itu datang, dan aku berhasil hahaha kena deh! Aku suka gayamu yang bahagia memberitahukan kepadaku. Cantik dan menggemaskan. Maaf kekasih. Seribu rindu serta peluk"
Ah aku sebal padamu Bhumi, sebal. Tak terasa aku menangis, sesenggukan di atas meja makan hingga lampu ruang makan yang sengaja kumatikan dan hanya ada pendar jingga dari lilin yang kunyalakan tadi terasa sunyi, hanya terdengar sesekali aku yang tengah lirih bersedih, menangis. Tisu-tisu tergeletak di sekitar meja, dan aku masih menenggelamkan kepalaku di kedua tanganku yang menelungkup bersilang di atas meja. 

"Huhuhuhu...."

***

Beberapa jam kemudian tangisanku mereda, dadaku yang sesak telah sedikit lega, angin segar menerpaku saat aku menggeser wajahku sedikit dari kedua tanganku ke arah kanan, menidurkan kepalaku di atas lengan kiriku yang masih menelungkup bersilang dan melihat ke arah dinding, pada sebuah lukisan bunga Gardenia merah jambu buatanku. Tak lupa ku usap wajahku yang sembab penuh dengan linangan air mata. Pikiranku menerawang. Aku sepertinya salah, tak seharusnya aku mematikan HP setelah menerima pesan dari Bhumi, bagaimana kalau ia khawatir? Aku juga sudah tak kesal lagi padanya, saat menangis tadi, aku berpikir, ini semua salahku, aku terlalu berlebihan, ini bukan sesuatu yang terpenting dalam sebuah pernikahan, tapi sepertinya mimpi pengantin baru membuatku menjadi sedikit ingin romantis. Oh sekali lagi maafkan aku Bhumi sayang. Aku harus segera mengaktifkan HP dan memberitahukan padanya kalau aku menunggunya pulang di rumah dengan penuh rindu juga.

Aku benar-benar bangun dan duduk tegak, kedua tanganku mengusap wajahku beberapa saat. Aku menarik nafas dalam-dalam perlahan dan mengeluarkannya, aku merasa pendar lilin di ruangan ini makin terang, atau hanya perasaanku saja. 

"UWAAA, ASTAGFIRULLAHHAL'ADZIM!!" 

Aku menjerit kaget, sekaget-kagetnya, saat seseorang tersenyum kambing duduk disamping kiriku. Ia menyenderkan kepalanya di tangan kirinya yang tertumpu di meja makan. Memandangku dengan tertawa geli. Sebuah cake penuh buah di atasnya dan satu lilin kecil namun benderang berhasil membuatku terpana. Cake itu tepat di sampingnya. Aku tersenyum lebar ke arahnya.

"Bhumi, kamu! Bikin kaget saja!" 
"Hahaha, kamu menangis berjam-jam Delilla, hebat!"
"Hah, jadi kamu sudah sedari kapan duduk di sampingku Bhumi?"
"Sejak kamu mengambil tisu pertamamu Delilla"
"Ah, Bhumi, maafkan aku, aku membuatmu menunggu juga jadinya, kamu pasti khawatir ya karena aku mematikan HP"
"Tentu aku khawatir sayang, tapi kenapa jadi kamu yang meminta maaf? Bukankah aku yang membuatmu kesal, karena tidak menepati janji? Kau pasti kesal sekali, maafkan aku ya nona cantikku, tak sepantasnya aku membuatmu kecewa seperti ini di hari ulang tahun pernikahan pertama kita"
"Tidak Bhumi sayang, aku juga salah, aku terlalu kekanak-kanakan, tidak sepantasnya juga aku bersikap buruk seperti tadi. Ah dan ini, kau yang membeli cake cantik ini? Bagaimana kalau kita segera memotongnya? Akan aku ambil pisau cakenya, dan membuat dua cangkir teh hangat, kau pasti lelah, oh ya sini lepas jasmu, kau pasti gerah, sepatumu aku bukakan ya, kau mau cuci muka dulu? Atau mau ku ambilkan tissu basah?"

Bhumi diam.
***

Delilla tersenyum dengan mata sembab dan pipi merah mudanya sehabis menangis ke arah Bhumi dan  Bhumi  hanya diam terpaku. Bhumi menurunkan tangannya, badannya kembali tegak dalam duduknya dan terpaku memandang istrinya yang jelita itu, air wajahnya berkata seolah-olah ia tak kesal sama sekali tadi. Padahal iya yakin Delilla tadi sangat kesal, sampai tak membalas pesannya, bahkan mematikan HP. 

"Memangnya kamu sudah tidak kesal lagi?"
"Ah, tidak, aku sudah lupa, sebentar ya aku ambil pisau cake dulu"

Delilla beranjak menuju dapur, mengambil pisau cake, dan membuat teh hangat juga sepertinya. Bhumi memandangnya dengan tatapan tak lepas. Ia benar-benar seperti jatuh cinta lagi kepada bidadari yang telah Tuhan takdirkan kepadanya. Bhumi terpana, mengapa Delilla begitu pemaaf dan pengertian sekali kepadanya. Padahal tadi ia bercanda berlebihan kepadanya saat mengirim pesan. Hingga ia kesal, lalu mematikan HP. Ah Delillaku sayang. Kamu selalu cantik, hatimu hingga wajahmu yang sembab dan memerah sebab menangis tadi juga tercantik di mataku. Itu kenapa kamu selalu membuatku rindu. Bhumi menyandarkan kepalanya kembali ke tangan kirinya, dengan tatapan tak jemu ke arah Delilla.

Kemudian malam itupun, purnama yang dipenuhi kelabu awan sedikit demi sedikit terawang oleh mata, lalu benderang kembali. Bulan mengintip sedikit dari jendela, ia melihat Bhumi dan Delillah berbicang riang di malam yang telah larut itu. Delilla mengangkat secangkir teh, jari-jarinya memeluk penuh cangkir itu dan Bhumi tengah lahap menikmati panecake buatan Delilla, pandangannya lekat kepada istri jelitanya yang bercerita.

Malam itu mereka menikmati setahun pernikahan mereka dengan hangat. Sehangat panecake Delillah yang telah dihangatkan oleh Bhumi tadi di oven. Sepertinya tadi Delillah terlalu sibuk dengan tangisnya hingga lupa bahwa ia berencana akan memakan seluruh panecakenya karena sebal kepada Bhumi. Bhumi tertawa lepas saat Delillah bercerita perihal itu, maka sebagai gantinya, Bhumilah yang menghabiskan semua panecake buatan Delillah. Benar-benar hangat malam itu, sehangat perasaan Delillah saat ini yang penuh. Penuh kebahagiaan. Delillah tak hentinya tersenyum. begitu juga Bhumi.

"Aku mencintaimu Bhumi"
"Aku juga Delilla, selalu mencintaimu"


Asa G. Lizadi
Yogyakarta, 2 September 2012


NB: Nama Dellila dan Bhumi adalah nama favorit sahabat saya @oktarinadw ^^

4 komentar:

  1. Ceritanya bagus sa :)
    mau komentar lebih jauh takut dikira macem2. hahaha :D

    bhumi <- ini mengingatkanku pada seorang raja di kota Omashu .jauh banget :P

    BalasHapus
    Balasan
    1. Muahaha, romantis yaaa, aku aja yang nulis terharu, eh akhir cerita itu seperti gambarnya mas hatefuel yg minum teh sama makan cake bang. Ingat kan!
      Bhumi temennya si Ang kan hahaha. Bhumi itu nama favoritnya sahabatku @oktarinadw

      Hapus
  2. masya Allah, kereen!!!

    aku jadi harus mengalihkan perhatianku sejenak dari dosen yang sedang mengajar ilmu forensik dan ceritanya tentang kematian di awal perkuliahan pagi ini, haha.. =D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Jazakumullah Bang Iwan, terimakaaasih ^^

      Sepertinya cerpen baruku malah jadi mengganggu kuliah forensik yang sedang mendongeng tentang kematian ya? haha, besok lagi bacanya pas lagi senggang aja bang. Cerpennya nggak ilang nggak ilang haha xD

      Hapus