Powered By Blogger

Kamis, 13 September 2012

Kenangan Bernama Laksita Danastri


Bagaimana kamu masih ada di hatiku, sedangkan ribuan musim telah berlalu mengaburkanmu. Aku tak pernah habis pikir, ini adalah lelucon siang hari yang kutemukan saat aku membuka sebuah buku panjang nan berdebu di almari kerja kesayanganmu. Aku akan menikah Laksita, namun kenapa aku begitu tersedu saat melihat parasmu yang pernah sempat kulupa saat bidadariku tiba dalam hidupku? Apakah ini kehendak Tuhan mengingatkan barang sebentar tentang rupamu kepadaku? Lewat selembar fotomu yang anggun duduk di sebuah bangku panjang berlatarkan senja yang mengapung di sebuah pantai jingga?
Kita bersama dalam keheningan hati yang tak pernah terejawantahkan, aku adalah rekanmu yang paling setia membersamai kerja kita. Lembaran-lembaran kata tertuliskan dan engkau adalah editorku yang paling menawan. Tentu Laksita, selain keanggunan, serta kecantikan bak putri dari kahyangan, apalagi yang dapat menggambarkan engkau duhai gadis menawan, dari negeri kerajaan Surakarta. 

Laksita Danastri, bidadari yang turun dari bumi. Ujarmu kala itu di pertemuan pertama kita. Saat aku mengungkapkan betapa uniknya namamu, engkau hanya tersenyum simpul, kemudian saat aku bertanya arti dari namamu yang indah, engkau terdiam barang sebentar, dan aku melihat tiap detail gerak-gerikmu yang manis, hingga aku berbisik lirih, sangat lirih di dalam hati saat engkau menjelaskan arti namamu, bahwa sungguh pintar orang tuamu memberikan nama, nama indah itu menjelma nyata di hadapanku, ya, dan itu benar, bahwa engkau memang laksana bidadari yang turun dari bumi. Anggun, dan tercantik.

Aku akan menikah dengan seorang bidadari juga Laksita, tentu engkau mengetahuinya sedari dulu. Anganku tentang seorang Ibu dari putra-putriku. Aku menemukannya di jiwanya yang seaggun dirimu, secantik dirimu dan bahkan ia lebih, sebab mahkotanya yang panjang, lebar nan indah membuatnya semakin cantik di hadapan Tuhan, jika Tuhan saja sudah melihatnya cantik bagaimana ia terlihat di pandanganku, seorang hamba Tuhan yang hina dina ini? Tentu ia menjadi sungguh jelita. Jika saja kau dapat tiba di pernikahanku lusa, kau pasti setuju juga kepadaku Ta.

Bukumu yang berdebu ini masih di tanganku Laksita, aku hanya berani membukanya di halaman awal saja, di mana ada selembar fotomu. Sebab kutau, bahwa kau memiliki beribu rahasia dalam buku ini. Entahlah, aku  merasa aku harus tetap mematuhi titahmu, untuk tidak membukannya, sebab rahasiamu itu biarlah tetap menjadi rahasia. Aku yakin kau juga tak berkenan aku membacanya.

Sudah ya Laksita, aku memang pernah mengenalmu sebagai bidadari pertama yang pernah tampak dalam pandanganku, seorang gadis santun, yang helai rambut hitam legamnya selalu terurai panjang, dengan jepit rambut sederhana namun menawan, yang sangat menyukai rok berenda, serta flat shoes yang selalu kau sebut sepatu favoritmu dan harum parfummu yang lembut. Cukuplah, aku akan menutup bukumu ini seperti aku menutupkan pandangan segala hal yang mengingatkanku tentangmu.

Kantor ini terasa sunyi. Kau telah terlelap, dalam tidurmu yang panjang. dan aku harus segera menutup buku ini, kemudian beranjak pergi.. Kau telah tiada dan berlalu Laksita. Bidadariku menungguku, akupun juga begitu. 


Yogyakarta,  14 September 2012

2 komentar: