Oleh: Arif Nurhayanto*
Dalam kurun
waktu satu bulan ini, kaum muslimin Indonesia banyak menyoroti penindasan dan
pembantaian yang dialami muslim Rohingya
di Myanmar. Banyak orang berkata bahwa Rohingya merupakan Palestina Asia
Tenggara. Namun, mungkin sebagian besar dari kita masih asing mendengar kata
“Rohingya”. Siapakah sebenarnya muslim Rohingya itu?
Rohingya merupakan sebuah etnis
minoritas yang tinggal di wilayah Myanmar bagian Barat laut, tepatnya di
provinsi Rakhine (dulu namanya Arakan). Kaum muslim di wilayah Rakhine ini
sering disebut Rohingya untuk membedakan dengan etnis Rakhine yang non Islam yang
juga tinggal di situ. Saat ini Etnis muslim Rohingya tidak diakui sebagai warga
negara Myanmar dan keberadaan mereka di Rakhine dianggap sebagai pendatang.
Padahal muslim Rohingya sudah sejak lama menempati wilayah Rakhine.
Sejarah
mencatat, muslim Rohingya telah tinggal di daerah ini sejak abad ke 8 Masehi.
Lebih dulu dari pemukim Rakhine non muslim. Bahkan pada tahun 1430 hingga 1784
berdiri kerajaan Islam Arakan. Tahun 1784 kerajaan Burma (nama negara Myanmar
dahulu) menganeksasi Arakan dan Arakan berada dalam kekuasaan Raja Burma Bodaw
Paya hingga tahun 1824. Tahun 1824 Inggris menganeksasi Arakan dan Burma serta
menempatkan daerah pendudukan tersebut dalam administrasi British India. Pada
tahun 1937 British melepaskan Arakan dari British India dan tahun 1948 Arakan
menjadi bagian dari Negara Burma merdeka.
Meski
Myanmar (Burma) telah merdeka pada tahun 1948, namun warga Rohingya tak pernah
merasakan arti kemerdekaan. Mereka terus menerus mengalami kekerasan dan
tindakan diskriminasi. Pembantaian dalam skala besar terhadap warga Rohingya
terjadi berturut-turut pada tahun 1942, 1948, 1978, 1992 -1993 dan akhirnya
pada Juni 2012. Selain itu, keberadaan mereka tidak diakui sebagai salah satu
etnis yang eksis di Myanmar dari 136 etnis yang ada. Ada saat keberadaan mereka
diakui oleh Parlemen Myanmar, namun sudah berpuluh tahun lalu. Sejak UU
Kewarganegaraan Myanmar dilahirkan tahun 1982, Rohingya sama sekali dikeluarkan
sebagai salah satu etnis yang diakui pemerintah Myanmar. Akibatnya, merekapun
tidak diakui sebagai warga negara Myanmar.
Indonesia turut merasakan duka warga Rohingya. Pada akhir
tahun 2008 banyak warga Rohingya terusir dari negerinya dan menjadi manusia
perahu (boat people), mencari
keselamatan ke negeri lain. Mereka tertatih-tatih menanti negeri yang mau
menampung mereka. Sekitar 1200 warga Rohingya meninggalkan Myanmar pada bulan
Desember 2008 menuju Thailand. Datang dengan cara yang tidak umum, otoritas
Thailand segera menampik mereka. Sebagian mereka masih ditahan di Thailand dan
sebagian kembali terusir ke laut. Menggunakan sembilan perahu, mereka kemudian
terdampar di Laut Andaman, sebagian kecil diselamatkan oleh warga Indonesia dan
ditampung sementara di Aceh. Sebagian kecil yang lain diselamatkan oleh
Angkatan Laut India. Selebihnya, masih terkatung-katung. Daily Yomiuri
(11/2-09) menyebutkan bahwa nelayan Aceh menyelamatkan 220 ‘manusia perahu’
Rohingya pada 2 Februari 2009, namun 22 di antaranya telah tewas karena
kehausan dan kelaparan. Bulan Juli 2012 ini Indonesia mendapati lagi 82
pengungsi Rohingya (13 diantaranya anak-anak) terdampar di Kepulauan Riau. Disamping
itu, pengungsi Rohingya terserak di 13 tempat berbeda di seluruh Indonesia
Lalu bagaimana sikap kita?
Lembaga
Dakwah Kampus (LDK) sebagai salah satu entitas mahasiswa muslim di perguruan
tinggi harus mampu berkontribusi dalam meringankan derita muslim Rohingya.
Setidaknya ada 4 hal yang bisa dilakukan oleh LDK.
Pertama,
melakukan pencerdasan terhadap masyarakat umum mengenai permasalahan Rohingya.
Kegiatan ini bertujuan agar masyarakat dapat secara tepat mengetahui kejadian
yang sebenarnya sehingga tidak salah menilai dan salah bertindak. Kegiatan
percerdasan ini bisa dilakukuan melalui diskusi publik, kajian dan artikelisasi
di berbagai media.
Kedua,
menjadikan LDK sebagai motor penggerak isu Rohingya. LDK bisa memanfaatkan
posisinya dengan menggerakkan jaringan yang ada. Seperti Forum Silaturahim LDK,
Unit kegiatan mahasiswa di kampus, gerakan mahasiswa ekstrakampus, remaja
masjid maupun Ormas di wilayahnya. Agar isu ini tidak hanya menjadi konsumsi
kader LDK saja dan semua mau serentak bergerak.
Yang
ketiga, aktif melakukan penggalangan donasi untuk warga Rohingya. Kita ketahui bahwa warga
Rohingya saat ini terlantar diberbagai daerah dan negara, termasuk di
Indonesia. Banyak dari mereka yang meninggal karena kelaparan saat berlayar di
kapal untuk mencari tempat mengungsi. Dengan donasi yang kita kumpulkan
setidaknya sedikit bisa meringankan derita mereka.
Yang
keempat, mendorong pemerintah Indonesia selaku pemimpin ASEAN saat ini, agar
mendesak Myanmar untuk menghentikan diskriminasinya terhadap muslim Rohingya.
Pemerintah Indonesia juga tidak boleh mengusir warga Rohingya yang mengungsi ke
Indonesia.
Jama'ah
Shalahuddin selaku LDK di UGM setidaknya sudah melakukan 3 dari 4 point di
atas. Yaitu melakukan kajian, diskusi publik dan artikelisasi sebagai metode
untuk memberikan pencerdasan untuk civitas UGM dan warga Yogyakarta. Kemudian
ikut menggerakan jaringan dalam aksi Solidaritas untuk Rohingya yang digelar
oleh Gempur (Gerakan Masyarakat Peduli Rohingya). Dan yang terakhir menyerahkan
donasi kemanusiaan untuk Rohingya sebesar 18 juta rupiah yang disalurkan melalui Aksi Cepat Tanggap
(ACT).
*Ketua Lembaga Dakwah Kampus UGM, Jama'ah Shalahuddin 1433 H
Referensi :
www.indonesia4rohingya.org
Tidak ada komentar:
Posting Komentar