Powered By Blogger

Minggu, 26 Agustus 2012

Antara LDK dan Rohingya


Oleh: Arif Nurhayanto*

            Dalam kurun waktu satu bulan ini, kaum muslimin Indonesia banyak menyoroti penindasan dan pembantaian yang dialami  muslim Rohingya di Myanmar. Banyak orang berkata bahwa Rohingya merupakan Palestina Asia Tenggara. Namun, mungkin sebagian besar dari kita masih asing mendengar kata “Rohingya”. Siapakah sebenarnya muslim Rohingya itu?
            Rohingya merupakan sebuah etnis minoritas yang tinggal di wilayah Myanmar bagian Barat laut, tepatnya di provinsi Rakhine (dulu namanya Arakan). Kaum muslim di wilayah Rakhine ini sering disebut Rohingya untuk membedakan dengan etnis Rakhine yang non Islam yang juga tinggal di situ. Saat ini Etnis muslim Rohingya tidak diakui sebagai warga negara Myanmar dan keberadaan mereka di Rakhine dianggap sebagai pendatang. Padahal muslim Rohingya sudah sejak lama menempati wilayah Rakhine.
            Sejarah mencatat, muslim Rohingya telah tinggal di daerah ini sejak abad ke 8 Masehi. Lebih dulu dari pemukim Rakhine non muslim. Bahkan pada tahun 1430 hingga 1784 berdiri kerajaan Islam Arakan. Tahun 1784 kerajaan Burma (nama negara Myanmar dahulu) menganeksasi Arakan dan Arakan berada dalam kekuasaan Raja Burma Bodaw Paya hingga tahun 1824. Tahun 1824 Inggris menganeksasi Arakan dan Burma serta menempatkan daerah pendudukan tersebut dalam administrasi British India. Pada tahun 1937 British melepaskan Arakan dari British India dan tahun 1948 Arakan menjadi bagian dari Negara Burma merdeka.
            Meski Myanmar (Burma) telah merdeka pada tahun 1948, namun warga Rohingya tak pernah merasakan arti kemerdekaan. Mereka terus menerus mengalami kekerasan dan tindakan diskriminasi. Pembantaian dalam skala besar terhadap warga Rohingya terjadi berturut-turut pada tahun 1942, 1948, 1978, 1992 -1993 dan akhirnya pada Juni 2012. Selain itu, keberadaan mereka tidak diakui sebagai salah satu etnis yang eksis di Myanmar dari 136 etnis yang ada. Ada saat keberadaan mereka diakui oleh Parlemen Myanmar, namun sudah berpuluh tahun lalu. Sejak UU Kewarganegaraan Myanmar dilahirkan tahun 1982, Rohingya sama sekali dikeluarkan sebagai salah satu etnis yang diakui pemerintah Myanmar. Akibatnya, merekapun tidak diakui sebagai warga negara Myanmar.
            Indonesia turut merasakan duka warga Rohingya. Pada akhir tahun 2008 banyak warga Rohingya terusir dari negerinya dan menjadi manusia perahu (boat people), mencari keselamatan ke negeri lain. Mereka tertatih-tatih menanti negeri yang mau menampung mereka. Sekitar 1200 warga Rohingya meninggalkan Myanmar pada bulan Desember 2008 menuju Thailand. Datang dengan cara yang tidak umum, otoritas Thailand segera menampik mereka. Sebagian mereka masih ditahan di Thailand dan sebagian kembali terusir ke laut. Menggunakan sembilan perahu, mereka kemudian terdampar di Laut Andaman, sebagian kecil diselamatkan oleh warga Indonesia dan ditampung sementara di Aceh. Sebagian kecil yang lain diselamatkan oleh Angkatan Laut India. Selebihnya, masih terkatung-katung. Daily Yomiuri (11/2-09) menyebutkan bahwa nelayan Aceh menyelamatkan 220 ‘manusia perahu’ Rohingya pada 2 Februari 2009, namun 22 di antaranya telah tewas karena kehausan dan kelaparan. Bulan Juli 2012 ini Indonesia mendapati lagi 82 pengungsi Rohingya (13 diantaranya anak-anak) terdampar di Kepulauan Riau. Disamping itu, pengungsi Rohingya terserak di 13 tempat berbeda di seluruh Indonesia

Lalu bagaimana sikap kita?
            Lembaga Dakwah Kampus (LDK) sebagai salah satu entitas mahasiswa muslim di perguruan tinggi harus mampu berkontribusi dalam meringankan derita muslim Rohingya. Setidaknya ada 4 hal yang bisa dilakukan oleh LDK.
            Pertama, melakukan pencerdasan terhadap masyarakat umum mengenai permasalahan Rohingya. Kegiatan ini bertujuan agar masyarakat dapat secara tepat mengetahui kejadian yang sebenarnya sehingga tidak salah menilai dan salah bertindak. Kegiatan percerdasan ini bisa dilakukuan melalui diskusi publik, kajian dan artikelisasi di berbagai media.
            Kedua, menjadikan LDK sebagai motor penggerak isu Rohingya. LDK bisa memanfaatkan posisinya dengan menggerakkan jaringan yang ada. Seperti Forum Silaturahim LDK, Unit kegiatan mahasiswa di kampus, gerakan mahasiswa ekstrakampus, remaja masjid maupun Ormas di wilayahnya. Agar isu ini tidak hanya menjadi konsumsi kader LDK saja dan semua mau serentak bergerak.
            Yang ketiga, aktif melakukan penggalangan donasi untuk  warga Rohingya. Kita ketahui bahwa warga Rohingya saat ini terlantar diberbagai daerah dan negara, termasuk di Indonesia. Banyak dari mereka yang meninggal karena kelaparan saat berlayar di kapal untuk mencari tempat mengungsi. Dengan donasi yang kita kumpulkan setidaknya sedikit bisa meringankan derita mereka.
            Yang keempat, mendorong pemerintah Indonesia selaku pemimpin ASEAN saat ini, agar mendesak Myanmar untuk menghentikan diskriminasinya terhadap muslim Rohingya. Pemerintah Indonesia juga tidak boleh mengusir warga Rohingya yang mengungsi ke Indonesia.
            Jama'ah Shalahuddin selaku LDK di UGM setidaknya sudah melakukan 3 dari 4 point di atas. Yaitu melakukan kajian, diskusi publik dan artikelisasi sebagai metode untuk memberikan pencerdasan untuk civitas UGM dan warga Yogyakarta. Kemudian ikut menggerakan jaringan dalam aksi Solidaritas untuk Rohingya yang digelar oleh Gempur (Gerakan Masyarakat Peduli Rohingya). Dan yang terakhir menyerahkan donasi kemanusiaan untuk Rohingya sebesar 18 juta rupiah  yang disalurkan melalui Aksi Cepat Tanggap (ACT).

*Ketua Lembaga Dakwah Kampus UGM, Jama'ah Shalahuddin 1433 H

Referensi :
www.indonesia4rohingya.org

Tidak ada komentar:

Posting Komentar