Perlahan
aku menutup buku cerita kisah-kisah teladan bergambar yang dikemas layaknya dongeng,
dipangkuanku Ghiyast putraku yang berumur empat tahun telah tertidur pulas.
Terdengar pelan dengkuran kecilnya. Mungkin ia sangat lelah, aku mengusap
lembut keningnya, lalu kukecup pipi tembemnya itu dengan penuh kasih sayang.
Mas
Andri yang duduk di karpet tak jauh dari kami dengan laptop menyala di depannya,
sedikit merubah arah duduknya dan menoleh ke arahku yang duduk di atas sofa. Ia
melepas kacamata minusnya, lalu memijit-mijit bagian antara mata. Sepertinya
suamiku itu juga lelah.
Aku
mengangguk, lalu ia pun bergegas berdiri dan mendekatiku, pelan-pelan ia angkat
Ghiyast dan memindahkannya ke dalam kamar, aku mengikuti suami dan anakku itu dari
belakang. Setelah menidurkan jagoan kecil kami di kamar, kami keluar dan duduk
di sofa ruang keluarga yang seperti perpustakaan
ini, karena dikelilingi banyak rak buku penuh berjejer rapi. Mas Andri
membiarkan laptopnya menyala begitu saja.
Kami
duduk dalam diam sejenak, aku menoleh ke arah Mas Andri yang tampak capek, dengan
lembut kuraih tangan Mas Andri dan kugenggam, lelaki yang kucintai itu menoleh
ke arah wajahku, tiba-tiba dengan kompak kamipun tertawa geli. Lalu ia
merangkulku dengan lembut.
“Hari
ini gimana Dek, capek banget ya?” suamiku tersayang itu bertanya kepadaku.
Memulai pembicaraan kami di malam ini.
Aku
tersenyum lembut.
“Enggak
kok mas, hari ini alhamdulillah menyenangkan seperti hari-hari yang lalu, semua
kerjaan beres, Ghiyast juga enggak rewel jadi Bunda cepet kerjannya.” Jelasku
pada laki-laki yang melamarku empat tahun yang lalu dengan penuh cinta itu.
“Hemmm
jagoan kecilku Ghiyast kelihatannya
capek banget ya?”
“Iya
mas, tadi selepas kumandikan katanya dia mau nunggu Ayah di luar, sembari main
di luar bareng anak-anak komplek.”
“Iya
tadi Ghiyast langsung lari tau mobil Ayahnya datang, belum aku buka pintunya
aja Ghiyast udah ribut minta gendong, tadi aku rasanya capek banget, tapi lihat
Ghiyast yang girang menyambut Ayahnya yang ganteng ini datang, rasa capeknya
lenyap menguap begitu aja Dek, apalagi lihat Ghiyast udah rapi wangi lagi.” Suamiku
tersenyum geli membayangkan jagoan kecilnya yang begitu menggemaskan tadi.
Aku
tersenyum bahagia dan gemas juga kearah suamiku yang bercerita panjang lebar
menceritakan Ghiyast. Wajahnya tampak berseri-seri senang. Rasanya melihat
wajahnya yang capai tersapu senyum dan tawa girang saat menceritakan jagoan
kecilnya, membuatku merasakan sama halnya apa yang ia rasa. Sangat bahagia.
Sejenak
aku tersadar sepertinya suamiku terlihat jenuh setelah lama berkutat di depan
laptopnya.
“Sayang,
mau Bunda buatkan teh hangat, atau mau Bunda buatkan kopi?” tanyaku padanya.
Aku selalu menyebut diriku ini Bunda di depannya walau Mas Andri sampai
sekarang tetap memanggilku dengan sebutan “Dek”.
“Wah
cocok nih, aku mau kopi aja Dek, lama nggak minum kopi!” ujarnya bersemangat.
Aku
pun bangkit dari sofa untuk menuju kedapur, saat akan melangkah tiba-tiba mas
Andri menarik tanganku pelan. Aku menoleh ke arahnya dengan alis berkerut. Suamiku
itu menatapku dalam-dalam, menggenggam tanganku dengan sepenuh hati.
“Dek,
dari hati yang terdalam aku suamimu dan Ghiyast yang sangat sangat sangat mencintaimu
ingin mengucapkan terimakasih, terimakasih
telah mengurus semua urusan rumah tangga kita ini dengan ikhlas,
mengurus Ghiyast dengan penuh perhatian, penuh kasih sayang. Dan engkau sebagai
istri dan Ibu yang shalihah mengurusku dengan penuh rasa cinta, aku dan Ghiyast
bahagia dek, sungguh. Tak ada kata-kata yang bisa kami ucapkan selain rasa
cinta dan sayang kami untukmu. Terimakasih ya sayang.”
Ceesss!
Hati ini begitu terharu saat ucapan terimakasih dan sayang itu terlontarkan,
sungguh tak bisa ku bendung rasa haru ini. Betapa bahagianya
pekerjaan-pekerjaan itu selesai dengan tanganku sendiri, dan ada sebaris ucapan
terimakasih untuk imbalan dari semua itu. Sungguh demi Allah, aku tidak meminta
imbalan dari semua yang aku kerjakan ini, karena memang sudah kewajibanku
sebagai seorang istri dan Ibu untuk menyelesaikan tugas-tugas itu. dan akupun
mengerti, jihadku sebagai seorang wanita adalah berbakti kepada suami, mendidik
anak-anakku, dan mengurus rumah tanggaku. Namun walau bagaimanapun aku tetaplah
manusia biasa yang sangat bahagia ketika ucapan terimakasih itu ada. Ada untuk
sekedar mengungkapkan rasa sayang.
“Iya
Mas. Bunda ikhlas menjalani semua ini, inikan memang kewajiban Bunda” Ujarku
terharu hampir meneteskan air mata, namun segera ku sapu dengan tanganku.
Lelaki yang ku cintai itu pun tampak sama, tersenyum penuh haru ke arahku.
“Eemmm,
jadi nggak nih buatin kopinya, kok tangan Bunda masih di genggam aja mas? ” Candaku
mencairkan suasana yang mengharu biru itu sembari tersenyum ke arahnya. Mas
Andri tertawa geli mendengarkan candaku yang tidak ada unsur humornya sedikit
pun.
“Hahaha
maaf ya sayang, okedeh buatkan kopi yang mantab ya Dek!” Ujarnya masih geli
sembari melepas tanganku yang di gennggamnya tadi. Lalu turun dari sofa menuju
laptopnya yang sedari tadi ia biarkan menyala.
Dan
aku berjalan menuju ke arah dapur.
“Hiksss!”
Jadi
terharu, sungguh indah betul ucapan terimakasih itu. Andai semua orang
mengetahui bahwa Ibu dan Istri mereka bahagia ketika ucapan terimakasih itu
terlontarkan dari mulut mereka. Seperti mantra ajaib yang membuat orang yang
mendengarnya merasa senang dan bahagia.
Sayup-sayup dari ruang keluarga terdengar
iklan yang di iringi nyanyian, sepertinya mas Andri menghidupkan TV.
Tetes peluhnya
Pekat penuh cinta
Gerak langkahnya
Bahasa tubuhnya
Sarat sinar kasih
Ibu merawat tanpa
pamrih
Selamanya...
“Huwaaa...!”
Jadi pengen nangis, mendengar iklan
sebuah susu cair ternama itu. Subhanallah maha suci Allah yang menganugerahkan
kasih sayang dalam setiap rasa, anunugerah
ini begitu indah, anugerah indahnya menjadi Ibu.
-Selesai-
*Cerita ini terinspirasi dari kedua orang tuaku yang selalu romantis, dan kompak dalam mendidik putra-putrinya. Tulisan ini aku tulis sewaktu aku kelas 12 ^^ ♥
Asa G. Lizadi
29 November 2008
kak Asa, aku meleleh bacanya, subhanAllah kak ^^
BalasHapusTerimakasih ya Dit, blogmu juga, bikin aku ketawa geli hahaha, unyuuu xD
Hapustulisan ini, aku ingat pernah membacanya. Ada di notes FB-mu bukan ya?
BalasHapusP.S: romantis abis =)
Benaaar! Selamat anda dapat payung cantik :D hahaha. Tapi waktu dulu di FB itu, teknik penulisannya belum benar bang, banyak yang salah, jadi ku edit lagi bahasanya agar enak untuk dibaca. Kan sudah dapat kuliah penyuntingan, jadi harus dipraktekkan lah ilmunya. Kalau masih ada yang salah berarti aku kurang cermat itu haha ngeditnya maklum baru ku edit dua kali pembacaan hehehe.
HapusThanks a lot bang, terinspirasi dari Bapak dan Ibu yang juga always romantis haha ^^
ntar kalo udah terbit buku karya Asa sendiri, ingatkan aku ya untuk jadi pembeli pertama & orang yang dapat tanda-tangan penulisnya yang pertama juga.. =)
Hapusditunggu lho,hehe.. dan semoga keluarganya makin nambah romantis deh.. ^^
Hahaha, iya Bang Iwan, Insyaallah, Amin, terimakasih doanya indah mbanget, semoga ya bisa jadi penulis yang memberi kontribusi hikmah di dalam karyaku.
HapusAamin, semoga Ayah dan Ibumu juga tambah romantis wkwkwkw :D :D :D
Sae Sanget mba' Asa . . . . .
BalasHapus