Hakimi saja aku sebagai seorang gadis yang kekanak-kanakan, karena kali waktu ini, aku memang seperti ini adanya. Perlu kau ketahui, aku berdiri sendiri disini adalah bukan sesuatu yang mudah, menghadapi anomali musim hati yang berat, mengejawantahkan diri sebagai seorang gadis dewasa yang apik, sungguh terasa sulit. Kesulitan yang dalam sadarku penuh adalah sebuah keniscayaan dari setiap turunan Hawa. Menjadi dewasa dengan keanggunan bak kesejukan halimun, adalah sebuah hal yang tak terelakkan oleh gadis manapun. Hanya saja, aku masih terlalu naif kali ini, dan dirundung kabut tak tentu dari negeri yang bernama Sunyi.
Mengertilah, saat aku sedang mengeja bagaimana Tuhan telah membuatku menjadi lemah, saat aku merasa ini semua terlalu lamban. Hanya rentang malam yang membuatku menjadi akrab dengan sepi, membuatku sedikit tak bersahabat dengan terang lampu di sudut ruangmu.
Aku bercengkrama dengan helaian-helaian tabir mega. Kemudian tak sadar, terkadang hal aniaya kulakukan pada diri, ketika lemah denyut pagi kurasakan dan kicau burung pipit terasa nyinyir di telinga. Kenyataan ingin kurangkai, namun apa boleh buat hanya mimpi yang ada. Kunci perasaan yang menderu tak terhingga ini hanya ada di loteng jiwamu. Kalau boleh aku mengetuk, mungkin telah berlari aku menuju ke persimpangan arahmu. Namun sekali lagi aku hanya terdiam membeku, seperti caramel manis kehilangan sedikit demi sedikit pendar-pendar panas kemudian hangat yang membuatnya beku menjadi sebuah gulali.
Sorak hatiku mungkin terlalu membahana memenuhi ruang di kepalamu. Hingga kadang, aku tak mengerti apa yang aku lakukan ini sungguh membuatku terlihat bodoh telak! Saat terjadi pertempuran sengit antara aku dan sisi aku yang lain, aku sudah menebak siapa pemenangnya. Pemenangnya adalah aku sendiri, tak ada lain. Karena ini adalah tentang sebuah kebodohan yang ku pelihara dengan kebodohan yang lain. Entahlah, apakah aku ini sadar atau terlelap saat kunyatakan demikian. Hanya Tuhan yang tau bagaimana aku mengeja kelemahanku saat menghitung kesunyian sebelum aku terlelap.
Mimpi-mimpi tak menentu memenuhi ruang lelapku. Aku terbangun dengan linglung, merasakan pening yang memukul. Anggap saja ini hanya kekhawatiran seorang wanita, yang tak pernah bisa sampai dalam angan sadar seorang pria. Atau mereka memiliki kunci langit, yang membuat mereka tak tampak mengerti walau nyatanya mereka fasih membaca air muka para turunan Hawa? Ah entahlah, semuanya terlihat gelap. Pernah kukatakan pada cermin bahwa itu adalah hal yang tak utama, namun sekali lagi aku mendapatkan pantulan jawaban yang sama “anggap saja ini hanya kekhawatiran seorang wanita”, ya kekhawatiran yang membuat siapa saja ikut gila dibuatnya karena penasaran akan hati cinta.
Kicauan-kicauan riang mengelilingi kepalaku, tentang ada kehidupan baru dalam jiwaku. Bersorak-sorak turut bahagia tak lupa memberikan ucapan selamat sejahtera. Ah, mereka hanya belum mengerti bagaimana saat aku memaksakan diri belajar mengejawantah menjadi bidadari bumi, hingga aku merasa lelah kemudian lunglai dalam redup cahaya, dan mereka dengan riang berkicau ada kehidupan baru dalam jiwahku? Ah kalian mengigau. Kalau aku seperti Maryam, apakah aku juga akan memiiki jiwa Isa? Haha kalau ya, aku ingin memilih memiliki jiwa Yusuf saja yang tak terhingga tampannya. Oh tidak! Tentu saja ini hanya gurauan dari gemuruh ombak-ombak di laut selatan. Aku takakan ambil peduli. Sungguh!
Rahangku seperti tumbuh, dan sakit memenuhi kepalaku. Bisakah diam ini membuatku pulih dan bersabar? Ah mungkin bisa, atau mungkin tidak. Seloroh ini takkan ada habisnya sebelum aku benar-benar duduk manis dengan setumpuk gumpalan-gumpalan angin yang menderu, mendesah dalam derai-derai air mata para peri pemetik air mata. Peri yang menjual kantung-kantung air mata di pinggir jalan menuju negerimu. Jangan kau berkisah perihal ini, karena tentu saja aku tak akan terlalu terkejut, sebab pernah aku membelinya satu kantung penuh, pada suatu masa saat kumiliki hari tersedih dimusim yang lalu.
Sudahlah, kumohon jangan kau baca ceracauanku ini dengan dahi yang berkerut. Matahari telah terlihat cerah, angin telah menyaput awan tebal yang beberapa waktu lalu menutupi terangnya. Aku adalah aku dengan hati dan lembaran baru. Tuhan memberiku kedua mata di depan agar aku hanya memandang ke arah engkau masa depanku, tidak untuk masa lalu. Aku berharap restu Tuhan ada pada doaku dan doamu. Tentu aku hanya mempuanyai satu tuju saat takdir itu bertemu, takdirmu takdirku. Setia aku menerima titah Tuhan dalam ejawantahmu. Baktiku tertuju dalam ejawantahmu.
Waktu, aku hanya perlu waktu untuk meniti senyum arif bijaksana yang terkaburkan oleh sikap kekanak-kanakanku. Aku pun dapat dewasa, tentu! Ingat, aku adalah salah seorang pewaris kesejukan halimun itu, mana mungkin aku tak bisa? Tapi apalah arti dewasa jika tanpa perjalanan panjang yang melelahkan menuju ke arah muara. Maka kumohon maafkanlah sikapku dan nikmatilah derai-derai senja memasuki petang yang mengharu biru bersamaku.
Kesunyian ini membuatku berbuku menghadapi ego seorang gadis kecil yang mengaku turunan Hawa yang bersahaja. Aku belajar mengeja, dalam aduanku kepada Tuhan. Bukan aku tak paham, aku hanya ingin peran ini menjadi milikku sedikit lama. Haha ya, hakimi saja aku sebagai seorang gadis yang kekanak-kanakan, karena kali waktu ini, aku memang seperti ini adanya. Sebentar saja sampai aku bosan. Entah kapan.
Yogyakarta Juni, 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar